Kini giliran Unilever yang memutus kontrak senilai 20 juta poundsterling per tahun dengan Sinar Mas Agro Resources & Technology (SMART), setelah sebelumnya pada November lalu, UPM, perusahaan raksasa asal Irlandia memutus kontrak dengan Asia Pacific Resources International Holding Limited (APRIL). Alasannya sama: para pemutus kontrak itu tidak ingin lagi terhubung dengan soal kegiatan pembabatan hutan ilegal, greewash RSPO, dan perubahan iklim. Keduanya pun menghentikan kontrak bisnis setelah Greenpeace membuka tindakan pengrusakan lingkungan yang dilakukan para mitra bisnisnya.
Sepertinya sudah semakin dekat saja hubungan antara komitmen pelestarian lingkungan dengan keberlanjutan bisnis. Terlepas dari perdebatan mengenai kesahihah data Greenpeace, namun tindakan cepat pemutusan kontrak atas alasan lingkungan, menunjukkan bahwa isu lingkungan, khususnya deforestasi, pembabatan hutan ilegal, greenwash dan perubahan iklim menjadi semakin kokoh sebagai isu paling penting bagi keberlanjutan bisnis.
Setidaknya dari segi penjagaan citra sudah semakin disadari. Moga-moga tanda ini juga menjadi sebuah tanda mengenai kesungguhan komitmen. Antara bisnis dan lingkungan, apalagi mereka yang berbasiskan pengelolaan sumberdaya alam, menurut hitungan apa pun memang saling berhubungan secara mutual. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum, bahwa tanggung jawab pelestarian lingkungan sering kali menjadi agenda sekunder dibandingkan dengan esklasi dan ekspansi bisnis. Kasus Unilever dan UPM menjadi kasus yang semakin mengokohkan keharusan menjaga keseimbangan antara raihan profit dan komitmen kepada pelestarian lingkungan.
Catatan lainnya adalah soal kolaborasi antara perusahaan dengan kekuatan masyarakat sipil. Dalam agenda pelestarian lingkungan dan juga pemberdayaan sosial, kolaborasi ini jelas merupakan hal penting. SMAR dan APRIL mungkin sangat boleh jadi kecolongan. Tidak dipungkiri bahwa kedua perusahaan besar ini pastilah memiliki agenda kontribusi pelestarian lingkungan dan pemberdayaan sosial. Hanya saja, temuan dan bukti dari Greenpeace jauh lebih memengaruhi opini pasar dibandingkan dengan laporan program sosial dan lingkungan keduanya. Pada sisi ini, soal terdapat kelemahan mendasar dari segi stakeholder engagement.
Pastilah dengan kejadian ini, baik Unilever, UPM, SMART maupun APRIL masing-masing memiliki agenda pertaruhan reputasi. Untuk sementara apa yang dilakukan Unilever dan UPM bisa dikatakan di atas angin. Seharusnya reputasi mereka meningkat. Sementara untuk SMART dan APRIL adalah sebaliknya. Mungkin dunia bisnis hampir sama dengan pertandingan sepakbola. Antara menyerang dan bertahan hanyalah sebatas strategi, yang lebih penting adalah memenangkan pertandingan. Kedua belah pihak memiliki agenda yang berbeda namun demi sebuah tujuan sama: mencoba mempertahankan reputasi dan memperbaiki reputasi dengan satu tujuan demi keberlangsungan bisnis. Dan dalam kasus ini soal substansial itu memiliki kata kunci baru: komitmen kepada pelestarian lingkungan.
By : Raden Pucuk Pinus ( Aris Yono )
Sepertinya sudah semakin dekat saja hubungan antara komitmen pelestarian lingkungan dengan keberlanjutan bisnis. Terlepas dari perdebatan mengenai kesahihah data Greenpeace, namun tindakan cepat pemutusan kontrak atas alasan lingkungan, menunjukkan bahwa isu lingkungan, khususnya deforestasi, pembabatan hutan ilegal, greenwash dan perubahan iklim menjadi semakin kokoh sebagai isu paling penting bagi keberlanjutan bisnis.
Setidaknya dari segi penjagaan citra sudah semakin disadari. Moga-moga tanda ini juga menjadi sebuah tanda mengenai kesungguhan komitmen. Antara bisnis dan lingkungan, apalagi mereka yang berbasiskan pengelolaan sumberdaya alam, menurut hitungan apa pun memang saling berhubungan secara mutual. Hanya saja, sudah menjadi rahasia umum, bahwa tanggung jawab pelestarian lingkungan sering kali menjadi agenda sekunder dibandingkan dengan esklasi dan ekspansi bisnis. Kasus Unilever dan UPM menjadi kasus yang semakin mengokohkan keharusan menjaga keseimbangan antara raihan profit dan komitmen kepada pelestarian lingkungan.
Catatan lainnya adalah soal kolaborasi antara perusahaan dengan kekuatan masyarakat sipil. Dalam agenda pelestarian lingkungan dan juga pemberdayaan sosial, kolaborasi ini jelas merupakan hal penting. SMAR dan APRIL mungkin sangat boleh jadi kecolongan. Tidak dipungkiri bahwa kedua perusahaan besar ini pastilah memiliki agenda kontribusi pelestarian lingkungan dan pemberdayaan sosial. Hanya saja, temuan dan bukti dari Greenpeace jauh lebih memengaruhi opini pasar dibandingkan dengan laporan program sosial dan lingkungan keduanya. Pada sisi ini, soal terdapat kelemahan mendasar dari segi stakeholder engagement.
Pastilah dengan kejadian ini, baik Unilever, UPM, SMART maupun APRIL masing-masing memiliki agenda pertaruhan reputasi. Untuk sementara apa yang dilakukan Unilever dan UPM bisa dikatakan di atas angin. Seharusnya reputasi mereka meningkat. Sementara untuk SMART dan APRIL adalah sebaliknya. Mungkin dunia bisnis hampir sama dengan pertandingan sepakbola. Antara menyerang dan bertahan hanyalah sebatas strategi, yang lebih penting adalah memenangkan pertandingan. Kedua belah pihak memiliki agenda yang berbeda namun demi sebuah tujuan sama: mencoba mempertahankan reputasi dan memperbaiki reputasi dengan satu tujuan demi keberlangsungan bisnis. Dan dalam kasus ini soal substansial itu memiliki kata kunci baru: komitmen kepada pelestarian lingkungan.
By : Raden Pucuk Pinus ( Aris Yono )
0 Comments:
Post a Comment