Kepentingan Bisnis Vs Lingkungan
Sepanjang Januari 2010, beberapa surat kabar nasional dan portal berita, mengangkat headline mengenai kerusakan lingkungan sebagai dampak negatif dari aktivitas pertambangan yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan. Dilihat dari muatan berita, memang hal tersebut bukanlah isu baru, tapi isu lama yang tidak kunjung mendapatkan perhatian dan penyelesaian yang komprehensif, sehingga eskalasi masalahnya menjadi semakin meluas dan mencapai taraf yang meresahkan sebagian besar pemangku kepentingan.
Para pemangku kepentingan yang resah tersebut tidak hanya dimonopoli oleh kalangan aktivis LSM, tapi sudah menjangkau kalangan masyarakat, akademisi dan bahkan pemerintah di tingkat lokal dan pusat. Tak tanggung-tanggung, Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Chandradewana Boer, yang sebagian lahan hutan penelitiannya diserobot oleh pemilik kuasa pertambangan (KP), mengeluarkan pernyataan “Kami tak sanggup menghentikan kerakusan ini...”. Tak kurang Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak pun merasa malu dengan keberadaan 1.180 kuasa pertambangan dan 32 izin usaha pertambangan batu bara di wilayahnya. Dan terakhir, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengancam dalam waktu satu bulan ini akan menindak tegas pengusaha nakal yang tidak mereklamasi lahan tambang yang lahannya mendapatkan izin pinjam pakai hutan dari Kementerian Kehutanan.
Kondisi di atas menunjukkan betapa karut marutnya pengelolaan sumberdaya alam di negeri ini. Betapa tidak, dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di Kalimantan saja telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan seluas 4,09 juta hektar, dan tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan pertambangan ilegal. Euforia otonomi daerah telah menyebabkan para bupati/walikota yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan KP menjadi “gelap mata”. Kombinasi keinginan untuk meningkatkan PAD dan keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek untuk pribadi dan kelompok terbukti sangat dominan dalam mempercepat kerusakan lingkungan hidup. Namun, sesungguhnya persoalannya tidak sesederhana itu, tapi merupakan akumulasi dari kesalahan-kesalahan dalam tataran paradigmatis pengelolaan sumberdaya alam.
Salah satunya adalah perseteruan antara motif ekonomi dan motif lingkungan dalam pembangunan Indonesia yang tidak kunjung selesai. Dan masing-masing pihak memiliki pendirian dan beragam alasan untuk mendukung kebijakan yang diambilnya. Kalangan economist beralasan bahwa investasi di sektor sumberdaya alam, khususnya pertambangan akan memberikan manfaat yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dan daerah setempat, melalui investasi yang ditanamkan. Sementara kalangan environmentalist berpendapat, tidak seharusnya kita mengorbankan masa depan kita dengan merusak sumberdaya alam, hanya demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Toh sebenarnya masih banyak cara kreatif untuk mengeksploitasi sumberdaya alam, tanpa merusak eksistensi sumberdaya itu sendiri.
Memang perbedaan pendirian dalam tataran paradigmatis dan ketidakjelasan pilihan kebijakan pemerintah telah menggiring lahirnya peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum di bawahnya, yang tidak jelas. Sehingga tidak heran kemudian terjadi perseteruan yang tak kunjung usai, misalnya antara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Karena satu pihak menjadikan azas ekonomi sebagai pijakan pengambilan kebijakan publik, sementara pihak yang lain menjadikan azas kelestarian lingkungan sebagai pijakannya.
Kesalahan lainnya adalah diadopsinya pengelolaan sumberdaya alam dengan pola corporate based management yang telah menjadikan pemilik modal sebagai pelaku utama dalam eksplotasi sumberdaya alam dan menjadikan barang tambang tak lebih dari sekedar komoditas yang tidak mempunyai nilai strategis. Kondisi ini memungkinkan semua pihak yang mempunyai modal untuk masuk sebagai “pemain”, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Sementara negara hanya memerankan dirinya sebagai “penjual izin” sembari menunggu pemasukan pajak dan royalti yang besarnya tidak seberapa. Padahal agar bisa menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945, negara tidak boleh hanya bersikap pasif dalam pengelolaan sumberdaya alam, tapi harus aktif mengelola, mengontrol dan mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pola state based management kiranya menjadi pola yang lebih ideal, karena memungkinkan negara untuk memegang kendali lebih besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan menempatkan barang tambang sebagai komoditas yang bernilai strategis, yang tidak bisa diobral sedemikian murah oleh siapa saja.
Memang tidak mudah merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam di negara sekaya Indonesia, apalagi dalam kondisi pemerintahan yang dihegemoni oleh pandangan neoliberal seperti saat ini dan pola yang sudah berjalan berpuluh tahun lamanya. Namun, patut kiranya kita merenungkan kembali pandangan Herman Daly berikut, “without functioning economic systems, societies cannot advance; without functioning social systems, people cannot develop; but without functioning natural systems, everything collapses”. Jika kita memahami dengan baik pandangan tersebut, niscaya kita tidak perlu lagi kebingungan apakah motif ekonomi yang harus didahulukan dan kelestarian lingkungan yang harus dikorbankan atau sebaliknya.
Sebuah pemikiran dari aris yono
Para pemangku kepentingan yang resah tersebut tidak hanya dimonopoli oleh kalangan aktivis LSM, tapi sudah menjangkau kalangan masyarakat, akademisi dan bahkan pemerintah di tingkat lokal dan pusat. Tak tanggung-tanggung, Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Chandradewana Boer, yang sebagian lahan hutan penelitiannya diserobot oleh pemilik kuasa pertambangan (KP), mengeluarkan pernyataan “Kami tak sanggup menghentikan kerakusan ini...”. Tak kurang Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak pun merasa malu dengan keberadaan 1.180 kuasa pertambangan dan 32 izin usaha pertambangan batu bara di wilayahnya. Dan terakhir, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, mengancam dalam waktu satu bulan ini akan menindak tegas pengusaha nakal yang tidak mereklamasi lahan tambang yang lahannya mendapatkan izin pinjam pakai hutan dari Kementerian Kehutanan.
Kondisi di atas menunjukkan betapa karut marutnya pengelolaan sumberdaya alam di negeri ini. Betapa tidak, dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di Kalimantan saja telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan seluas 4,09 juta hektar, dan tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan pertambangan ilegal. Euforia otonomi daerah telah menyebabkan para bupati/walikota yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan KP menjadi “gelap mata”. Kombinasi keinginan untuk meningkatkan PAD dan keinginan mendapatkan keuntungan jangka pendek untuk pribadi dan kelompok terbukti sangat dominan dalam mempercepat kerusakan lingkungan hidup. Namun, sesungguhnya persoalannya tidak sesederhana itu, tapi merupakan akumulasi dari kesalahan-kesalahan dalam tataran paradigmatis pengelolaan sumberdaya alam.
Salah satunya adalah perseteruan antara motif ekonomi dan motif lingkungan dalam pembangunan Indonesia yang tidak kunjung selesai. Dan masing-masing pihak memiliki pendirian dan beragam alasan untuk mendukung kebijakan yang diambilnya. Kalangan economist beralasan bahwa investasi di sektor sumberdaya alam, khususnya pertambangan akan memberikan manfaat yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia dan daerah setempat, melalui investasi yang ditanamkan. Sementara kalangan environmentalist berpendapat, tidak seharusnya kita mengorbankan masa depan kita dengan merusak sumberdaya alam, hanya demi kepentingan ekonomi jangka pendek. Toh sebenarnya masih banyak cara kreatif untuk mengeksploitasi sumberdaya alam, tanpa merusak eksistensi sumberdaya itu sendiri.
Memang perbedaan pendirian dalam tataran paradigmatis dan ketidakjelasan pilihan kebijakan pemerintah telah menggiring lahirnya peraturan perundang-undangan dan perangkat hukum di bawahnya, yang tidak jelas. Sehingga tidak heran kemudian terjadi perseteruan yang tak kunjung usai, misalnya antara Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Karena satu pihak menjadikan azas ekonomi sebagai pijakan pengambilan kebijakan publik, sementara pihak yang lain menjadikan azas kelestarian lingkungan sebagai pijakannya.
Kesalahan lainnya adalah diadopsinya pengelolaan sumberdaya alam dengan pola corporate based management yang telah menjadikan pemilik modal sebagai pelaku utama dalam eksplotasi sumberdaya alam dan menjadikan barang tambang tak lebih dari sekedar komoditas yang tidak mempunyai nilai strategis. Kondisi ini memungkinkan semua pihak yang mempunyai modal untuk masuk sebagai “pemain”, baik itu dalam skala kecil maupun besar. Sementara negara hanya memerankan dirinya sebagai “penjual izin” sembari menunggu pemasukan pajak dan royalti yang besarnya tidak seberapa. Padahal agar bisa menjalankan amanat Pasal 33 UUD 1945, negara tidak boleh hanya bersikap pasif dalam pengelolaan sumberdaya alam, tapi harus aktif mengelola, mengontrol dan mengambil kebijakan yang berpihak pada rakyat. Pola state based management kiranya menjadi pola yang lebih ideal, karena memungkinkan negara untuk memegang kendali lebih besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan menempatkan barang tambang sebagai komoditas yang bernilai strategis, yang tidak bisa diobral sedemikian murah oleh siapa saja.
Memang tidak mudah merubah paradigma pengelolaan sumberdaya alam di negara sekaya Indonesia, apalagi dalam kondisi pemerintahan yang dihegemoni oleh pandangan neoliberal seperti saat ini dan pola yang sudah berjalan berpuluh tahun lamanya. Namun, patut kiranya kita merenungkan kembali pandangan Herman Daly berikut, “without functioning economic systems, societies cannot advance; without functioning social systems, people cannot develop; but without functioning natural systems, everything collapses”. Jika kita memahami dengan baik pandangan tersebut, niscaya kita tidak perlu lagi kebingungan apakah motif ekonomi yang harus didahulukan dan kelestarian lingkungan yang harus dikorbankan atau sebaliknya.
Sebuah pemikiran dari aris yono
0 Comments:
Post a Comment